Tuesday, March 30, 2010
Amanat UUD Negara RI 1945 Amandemen IV tegas menyebutkan, negara bertanggung jawab memberi layanan kesehatan (Pasal 28 H Ayat (1)), hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28 I (2)), serta hak atas kepastian hukum dan keadilan (Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (1)) bagi setiap warga negara, termasuk perempuan.
Selain itu, dalam memenuhi kesepakatan dan target Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs), Indonesia diharapkan menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) menjadi dua pertiga dari angka nasional pada tahun 2015.
Salah satu cara mencapai sasaran itu adalah merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang baru disahkan 13 Oktober 2009 dan berlaku sejak 30 Oktober 2009 menjadi UU Kesehatan (UUK) Nomor 36 Tahun 2009.
Namun, apakah hasil revisi tersebut sesuai harapan? Jika membandingkan kedua UU itu, UU No 36/2009 lebih progresif.
UU No 36/2009 mengakomodasi dan memasukkan isu antara lain paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; pengakuan terhadap isu kesehatan reproduksi (bagian VI Pasal 71 sampai Pasal 77; aborsi yang diperluas untuk korban pemerkosaan, aborsi dibolehkan dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 Ayat 2 dan 3); pembiayaan kesehatan, yakni 5 persen dari APBN, 10 dari APBD dan dua pertiga untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
UU juga mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128); kesehatan remaja dan lanjut usia; serta hak mendapat informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodasinya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UU ini.
Kaji Ulang
Walau demikian, nyatanya UU ini tidak sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan khusus perempuan. Sebagai contoh, UU masih diskriminatif dan menempatkan perempuan pada pihak tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus dengan persetujuan suami dan hanya bagi yang telah menikah (Pasal 75 Ayat 3).
Hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 72 yang rumusannya mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual telah direduksi atas dasar status perkawinannya.
Kesehatan reproduksi (kespro) yang dilaksanakan melalui pendekatan kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS, serta kespro lanjut usia ternyata tidak mengakomodasi kespro bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori otonom.
Jika UU masih mengharuskan hubungan perkawinan untuk perempuan mendapat layanan kespro, hak layanan kespro individu perempuan lajang, seperti layanan pap smear untuk deteksi awal kanker mulut rahim, terabaikan.
Potensi mengkriminalkan perempuan, termasuk menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban pemerkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal ketentuan pidana.
Misalnya, Pasal 194 menyebut setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan Pasal 75 Ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pada bagian ini, UU yang lama memidana hanya paramedis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU baru pidana berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. UU ini hanya mengecualikan aborsi untuk kondisi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang trauma, dengan syarat usia kehamilan di bawah enam minggu.
Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar peraturan pemerintah yang akan disusun sebagai pelaksanaan UU ini benar-benar mencakup kebutuhan nyata masyarakat.
Yang tidak kalah penting memerhatikan rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Comments yang menyatakan, ”Komite pemantau sangat prihatin dengan masih adanya undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional”.
Diskriminasi masih ada dalam berbagai undang-undang, hak ekonomi termasuk jaminan kesehatan dan tunjangan lain di sektor kerja, serta kesehatan sebagai hak memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi” (Rekomendasi Umum Nomor 24 Tahun 1999). Artinya, pemerintah harus segera menyusun peraturan kebijakan dan melakukan langkah strategis untuk mewujudkan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam UU Kesehatan yang baru.
Terakhir, tanpa memerhatikan jaminan dan hak kesehatan dalam konstitusi, target pencapaian MDGs dan rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Comments, negara telah melanggar hak asasi manusia.
Yulianti Muthmainnah Aktivis Perempuan, Pimpinan Daerah Nasyiatul ’Aisyiah Tangerang
Sumber : Kompas.Com
Baca Selengkapnya...
Selain itu, dalam memenuhi kesepakatan dan target Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs), Indonesia diharapkan menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) menjadi dua pertiga dari angka nasional pada tahun 2015.
Salah satu cara mencapai sasaran itu adalah merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang baru disahkan 13 Oktober 2009 dan berlaku sejak 30 Oktober 2009 menjadi UU Kesehatan (UUK) Nomor 36 Tahun 2009.
Namun, apakah hasil revisi tersebut sesuai harapan? Jika membandingkan kedua UU itu, UU No 36/2009 lebih progresif.
UU No 36/2009 mengakomodasi dan memasukkan isu antara lain paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; pengakuan terhadap isu kesehatan reproduksi (bagian VI Pasal 71 sampai Pasal 77; aborsi yang diperluas untuk korban pemerkosaan, aborsi dibolehkan dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 Ayat 2 dan 3); pembiayaan kesehatan, yakni 5 persen dari APBN, 10 dari APBD dan dua pertiga untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
UU juga mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengharuskan pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas dan kebutuhan pendukung (Pasal 128); kesehatan remaja dan lanjut usia; serta hak mendapat informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodasinya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UU ini.
Kaji Ulang
Walau demikian, nyatanya UU ini tidak sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan khusus perempuan. Sebagai contoh, UU masih diskriminatif dan menempatkan perempuan pada pihak tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus dengan persetujuan suami dan hanya bagi yang telah menikah (Pasal 75 Ayat 3).
Hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 72 yang rumusannya mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual telah direduksi atas dasar status perkawinannya.
Kesehatan reproduksi (kespro) yang dilaksanakan melalui pendekatan kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS, serta kespro lanjut usia ternyata tidak mengakomodasi kespro bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori otonom.
Jika UU masih mengharuskan hubungan perkawinan untuk perempuan mendapat layanan kespro, hak layanan kespro individu perempuan lajang, seperti layanan pap smear untuk deteksi awal kanker mulut rahim, terabaikan.
Potensi mengkriminalkan perempuan, termasuk menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban pemerkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal ketentuan pidana.
Misalnya, Pasal 194 menyebut setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai ketentuan Pasal 75 Ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pada bagian ini, UU yang lama memidana hanya paramedis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU baru pidana berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. UU ini hanya mengecualikan aborsi untuk kondisi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang trauma, dengan syarat usia kehamilan di bawah enam minggu.
Untuk itu, kajian kritis tetap diperlukan agar peraturan pemerintah yang akan disusun sebagai pelaksanaan UU ini benar-benar mencakup kebutuhan nyata masyarakat.
Yang tidak kalah penting memerhatikan rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Comments yang menyatakan, ”Komite pemantau sangat prihatin dengan masih adanya undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional”.
Diskriminasi masih ada dalam berbagai undang-undang, hak ekonomi termasuk jaminan kesehatan dan tunjangan lain di sektor kerja, serta kesehatan sebagai hak memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi” (Rekomendasi Umum Nomor 24 Tahun 1999). Artinya, pemerintah harus segera menyusun peraturan kebijakan dan melakukan langkah strategis untuk mewujudkan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam UU Kesehatan yang baru.
Terakhir, tanpa memerhatikan jaminan dan hak kesehatan dalam konstitusi, target pencapaian MDGs dan rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Comments, negara telah melanggar hak asasi manusia.
Yulianti Muthmainnah Aktivis Perempuan, Pimpinan Daerah Nasyiatul ’Aisyiah Tangerang
Sumber : Kompas.Com
Labels: Kesehatan, Undang-Undang
Baca Selengkapnya...