Thursday, August 13, 2009
Para perawat di Indonesia akan melakukan mogok nasional jika sampai batas berakhirnya keanggotaan DPR RI periode 2004-2009 pada akhir September 2009 mendatang Undang-Undang Keperawatan/UUK tidak disahkan.
Ini merupakan hasil Rapat Kerja Nasional Luar Biasa kami yang menegaskan keputusan kami pada 22 Juni 2009 lalu. Kami akan mogok jika UUK tidak segera disahkan, kata Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Prof Achir Yani S Hamid di Jakarta, Rabu (12/8).
Saat ini, menurut Achir Yani, pelayanan kesehatan dasar di tingkat Puskesmas di Indonesia belum optimal. Hal ini disebabkan terjadinya kesenjangan penempatan tenaga kesehatan yang cenderung ingin di kota besar. Sementara itu, perawat yang ada (60 persen dari tenaga kesehatan) dan selalu bersedia di semua tatanan dan kondisi pedesaan tidak didayagunakan sebagaimana mestinya.
Kewenangan yang tidak jelas dari pemerintah membuat perawat ragu, antara melakukan tugas kemanusiaan dengan menolong pemberian pengobatan dasar kepada masyarakat yang membutuhkan tetapi tanpa perlindungan hukum yang jelas, atau membiarkan masyarakat mencari penyelesaian masalah kesehatan mereka sendiri, ancaman lost generation quality semakin panjang dan mengkhawatirkan.
Di tingkat rumah sakit, perawat selalu ditempatkan pada posisi yang sulit dengan risiko sangat tinggi dalam pelayanan: antara kewajiban melayani dengan perlindungan hukum yang minimal. Selain itu juga pengakuan dan penghargaan yang rendah, serta tidak ada sistem penjagaan kualitas karena yang tersistem secara nasional membuat perawat harus bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri, papar Achir Yani.
PPNI hingga saat ini beranggotakan 500.000 perawat di seluruh Indonesia. PPNI memandang penting segera disahkannya UUK karena UUK akan membentengi perawat Indonesia dari ancaman dan serbuan perawat asing yang akan masuk ke Indonesia pada 1 Januari 2010 setelah Pemerintah Indonesia menyepakati Mutual Recognition Agreement (MRA) tingkat ASEAN.
Menurut Achir Yani, potensi keuntungan jasa pelayanan keperawatan yang baik akan diambil oleh perawat dari negara lain. Sementara itu, perawat lokal hanya akan menjadi penonton penyerapan sumber-sumber kekayaan bangsa oleh perawat asing.
Hal ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia karena jumlah lulusan perawat baru per tahun dari D-3 dan S-1 Keperawatan mencapai 26.000 per tahun, sementara daya serap pemerintah dan swasta sekitar 7.100 perawat per tahun. Terjadi surplus perawat yang berpotensi devisa dari remittance atas 18.900 perawat sebagai tenaga terdidik yang bisa bekerja di luar negeri.
Namun, bila tidak diatur dan difasilitasi dengan UUK, ancaman bom waktu, pengangguran terdidik semakin mengkhawatirkan. Sekarang ini ada 700 perawat Indonesia di Kuwait yang terancam dideportasi karena mereka tidak punya nomor registrasi perawat, kata Achir Yani.
Sumber: (Kompas.com)
Ini merupakan hasil Rapat Kerja Nasional Luar Biasa kami yang menegaskan keputusan kami pada 22 Juni 2009 lalu. Kami akan mogok jika UUK tidak segera disahkan, kata Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Prof Achir Yani S Hamid di Jakarta, Rabu (12/8).
Saat ini, menurut Achir Yani, pelayanan kesehatan dasar di tingkat Puskesmas di Indonesia belum optimal. Hal ini disebabkan terjadinya kesenjangan penempatan tenaga kesehatan yang cenderung ingin di kota besar. Sementara itu, perawat yang ada (60 persen dari tenaga kesehatan) dan selalu bersedia di semua tatanan dan kondisi pedesaan tidak didayagunakan sebagaimana mestinya.
Kewenangan yang tidak jelas dari pemerintah membuat perawat ragu, antara melakukan tugas kemanusiaan dengan menolong pemberian pengobatan dasar kepada masyarakat yang membutuhkan tetapi tanpa perlindungan hukum yang jelas, atau membiarkan masyarakat mencari penyelesaian masalah kesehatan mereka sendiri, ancaman lost generation quality semakin panjang dan mengkhawatirkan.
Di tingkat rumah sakit, perawat selalu ditempatkan pada posisi yang sulit dengan risiko sangat tinggi dalam pelayanan: antara kewajiban melayani dengan perlindungan hukum yang minimal. Selain itu juga pengakuan dan penghargaan yang rendah, serta tidak ada sistem penjagaan kualitas karena yang tersistem secara nasional membuat perawat harus bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri, papar Achir Yani.
PPNI hingga saat ini beranggotakan 500.000 perawat di seluruh Indonesia. PPNI memandang penting segera disahkannya UUK karena UUK akan membentengi perawat Indonesia dari ancaman dan serbuan perawat asing yang akan masuk ke Indonesia pada 1 Januari 2010 setelah Pemerintah Indonesia menyepakati Mutual Recognition Agreement (MRA) tingkat ASEAN.
Menurut Achir Yani, potensi keuntungan jasa pelayanan keperawatan yang baik akan diambil oleh perawat dari negara lain. Sementara itu, perawat lokal hanya akan menjadi penonton penyerapan sumber-sumber kekayaan bangsa oleh perawat asing.
Hal ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia karena jumlah lulusan perawat baru per tahun dari D-3 dan S-1 Keperawatan mencapai 26.000 per tahun, sementara daya serap pemerintah dan swasta sekitar 7.100 perawat per tahun. Terjadi surplus perawat yang berpotensi devisa dari remittance atas 18.900 perawat sebagai tenaga terdidik yang bisa bekerja di luar negeri.
Namun, bila tidak diatur dan difasilitasi dengan UUK, ancaman bom waktu, pengangguran terdidik semakin mengkhawatirkan. Sekarang ini ada 700 perawat Indonesia di Kuwait yang terancam dideportasi karena mereka tidak punya nomor registrasi perawat, kata Achir Yani.
Sumber: (Kompas.com)
Labels: Keperawatan